Rabu, 09 April 2014

PERKEMBANGAN DRAMA DI INDONESIA

PERKEMBANGAN DRAMA DI INDONESIA

A. Teater Tradisional Indonesia

            Teater tradisional merupakan suatu bentuk teater yang dihasilkan oleh kreativitas kolektif masyarakat dari berbagai suku dan etnis di Indonesia. Teater ini bertolak dari sastra lisan yang berakar dari budaya dan tradisi masyarakat pendukungnya (bdk Ahmad, 1999:266). Mulanya, teater tradisional ini merupakan bagian dari upacara keagamaan dan upacara adat yang telah ada sejak zaman pra-Hindu. Selain itu, teater tradisional merupakan warisan budaya nenek moyang yang diyakini lahir dari spontanitas kehidupan yang dihayati oleh masyarakat pendukungnya.
            Adapun pendapat serupa juga dikemukakan oleh  Rendra yang menyatakan bahwa teater tradisional adalah sandiwara yang bentuknya biasanya mengikuti adat kebiasaan yang turun temurun; dan tidak mengikuti kepribadian seniman pencipta tertentu (1993:110). Dalam teater tradisional, proses kretif pada umumnya didukung oleh prinsip kebersamaan, sehingga tidak ada penonjolan individu tertentu sebagai pencipta karya. Hal yang demikian itu merupakan salah satu cirri esensi kesenian tradisional. Ciri utama teater tradisional itu biasanya didasarkan pada intuisi para pemainnya, dan penggunaan berbagai media ekspresi yang padu (Ahmad, 1999:267).
            Teater tradidional atau teater rakyat pada umumnya memiliki banyak fungsi bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Beberapa fungsi yang paling umum di antaranya adalah sebagai alat pendidikan bagi masyarakat, penebal perasaan solidaritas kolektif, alat kontrol sosial, alat kritik sosial, dan berfungsi sebagai hiburan masyarakat (dkk Danandjaja, 1983:81). Selain itu, fungsi lain teater tradisional yang cukup penting adalah tersedianya ruang yang memungkinkan para pemainnya untuk melakukan hal-hal yang ditabukan dalam masyarakat.
            Menurut Kayam (dalam Hasanuddin, 1996:27), kesenian tradisional, termasuk didalamnya teater, adalah sebuah bentuk kesenian yang hidup dan berakar dalam masyarakat daerah. Kesenian tersebut biasanya memelihara suatu tradisi budaya daerah. Oleh karena itu kesenian tersebut akan memiliki ciri-ciri kesenian tradisional adalah sebagai daerahan tertentu. Adapun ciri-ciri kesenian tradisional adalah sebagai berikut. Pertama, ruang lingkup atau jangkauan terbatas pada lingklungan budaya yang mendukungnya; kedua, berkembang secara perlahan sebagai akibat dari dinamika yang lamban dari masyarakat tradisional; ketiga tidak terspesialisasi; keempat, bukan merupakan hasil kreativitas individu, anonim, dan hasil karya kolektif masyarakat yang mendukungnya.



            Jacob Sumarjo (1984) dan Rendra (1993) menguraikan contoh teater tradisional yang ada di Indonesia sebagai berikut.

o   Kentrung
Merupakan teater rakyat yang berasal dari Jawa Timur. Kentrung disampaikan secara lisan didepan para penonton oleh dalang kentrung. Nama lain untuk kentrung adalah Emprak, opak, Puja Rasul, Seni Timplung (di Banyumas). Kentrung ini diduga muncul pada zaman kesultanan Demak (abad ke-16) dan berkembang di wilayah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kentrung hanya dipentaskan jika ada acara sunatan, tingkeban (tujuh bulan kehamilan), pengantin atau untuk ruwatan (tolak bala). Cerita yang dipentaskan disesuaikan dengan maksud upacara. Khazanah ceritanya diambil dari agama Islam, seperti lahirnya Nabi Musa, Nabi Yusuf, atau legenda rakyat seperti Jaka Tarub. Jenis kentrung ada tiga, yaitu: kentrung ontang-anting, underan, dan gedruk.

o   Pantun Sunda
Kata pantun dalam bahasa Sunda dan Jawa berarti ‘padi’. Patun sebagai seni tutur di Jawa Barat ini memang semula ada hubungannya dengan pemujaan Dewi Padi (Nyi Pohaci, Kersa Nyai, Nyai Pohaci Sang Hyang Sri). Meskipun dasarnya muncul dari tradisi asli, namun seni pertunjukan ini telah banyak tercampur dengan paham Hinduistis dan Islam. Hal ini nampak dalam bahan ceritanya yang diangkat dari zaman Galuh dan Pajajaran, serta doa-doa sebelum dan sesudah pementasan pantun yang sering memakai bahasa arab (kutipan Al-quran).

o   Dalam Jemblung
Teater Dalam Jemblung berasal dari Banyumas. Tetaer tutur ini sebenarnya bersumber dari pertunjukan wayang kulit biasa, hanya segalanya (baik tutur, ucapan/dialog, gamelan dll) dilakukan dengan suara mulut (vokal) oleh seorang atau beberapa orang. Rupanya tradisi pertunjukan ini berasal dari upacara nguyen yakni berjaga semalam suntuk waktu kelahiran bayi sambil mendebgarkan “macapatan”, pembacaan cerita berbentuk puisi Jawa.

o   Cepung
Teater tutur cepung ini berasal dari Lombok. Cepung pada dasarnya adalah seni membaca kitab lontar, khususnya cerita monyeh yang diiringi bunyi suling dan redeb serta peniruan suara-suara instrument gamelan dengan mulut. Lontar Monyeh sendiri ditulis oleh Jero Mahram 1833. Latar belakang cerita dalam lontar ini adalah falsafah Islam dengan tujuan pengembangan agama.

o   Sinrilli
Sinrilli berasal dari Sumatera Selatan. Sinrilli merupakan pertunjukan cerita tutur oleh seorang pasinrilli yang diiringi dengan music berinstrumen keso-keso (rebab). Penceritaan berupa nada lagu (kelong) yang diiringi lengkingan keso-keso sehingga membangunkan berbagai suasana haru, indah, dan humor. Konon, Sinrilli bermula dari istana raja-raja Gowa, kemudian setelah kejatuhannya ke tangan VOC menyebar di kalangan rakyat.

o   Bakaba
Bakaba berasal dari Minangkabau. Asal kata kaba mungkin berasal dari “khabarun” (Arab) yang berarti ‘berita’, atau mungkin dari “ka ba a” yang berarti ‘akan bagaimana’. Keduanya mengandung arti ‘berita baik atau buruk (dari Dewa atau Tuhan) yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan dalam bentuk cerita. Teater tutur ini dilakukan oleh tukang kaba yang bercerita dalam tuturan prosa liris dengan didendangkan (dilagukan) dan diiringi alunan music dari instrumen tertentu seperti rebab atau kecapi, seluang, dan adog (rebana). (Sumardjo, 2004)

o   Wayang Beber Pacitan
Wayang beber hanya dipentaskan untuk upacara ruwatan atau nadir saja. Wayang ini berbentuk lukisan di atas kertas, dengan roman seperti wayang kulit purwa hanya kedua matanya nampak. Sikap wayang bermacam-macam, ada yang duduk bersila, sedang berjalan, sedang berperang dan sebagainya. Lukisan wayang beber berjumlah enam gulung, dan tiap gulung berisi empat jagong atau adegan.

o   Ubrug
Kesenian ini terdapat didaerah Banten, memakai bahasa campuran Sunda, Jawa, Indonesia, dan kadang-kadang juga bahasa Lampung. Teater ini mempergunakan iringan gamelan salendro dengan gong buyung, para penarinya berbusana ‘srimpian’. Di samping itu, para pemain teaternya berbusana sesuai dengan situasi cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari atau paling jauh abad ke-19.

o   Topeng Banjet
Kesenian ini terdapat di wilayah Karawang, Bekasi, Cisalak (Bogor), dan sekitarnya. Di daerah ini bentuk teater ini dinamai topeng banjet meskipun tidak ada pemakaian topeng dalam pertunjukan itu. Adapun di wilayah Parahyangan teater ini disebut banjet saja. Di masa-masa lampau, satu atau dua generasi yang baru, topeng memang masih dipakai dalam teater topeng banjet, dengan memakai topeng Si Jantuk (kedok Semar tanpa rahang). Kedok merah dikenakan untuk karakter laki-laki (Menak jingga) dan kedok putih karakter untuk wanita. Kini pemakaian topeng tidak diperlukan lagi, karena lakon-lakonnya sudah tidak sesuai dengan pakem masa lampau.

o   Longer
Teater tradisional ini terdapat di wilayah Parahyangan (Subang, Bandung, dan sekitarnya). Longer ini pada dasarnya mirip dengan bentuk-bentuk teater yang sudah dibicarakan terdahulu. Perbedaannya terdapat pada jenis tari-tariannya dan masuknya pesinden (juru kawih) pada kesenian ini. Gamelan yang dipakai adalah jenis salendro, dengan 12 nayaga, ditambah juru kawih.

o   Sintren
Kesenian ini terdapat di daerah Cirebon. Teater ini masih menunjukkan sifat magis dengan menampilkan adegan kesurupan (trance) bagi penari sintrennya. Selain itu, teater tradisional itu masih dipimpin oleh seorang dukun, shaman, atau punduh. Kadang-kadang fungsi dukun dalam kesenian itu dilakukan oleh seorang anak yang berusia belita. Penari sintren biasanya memakai kacamata hitam untuk menutupi posisi biji mata waktu trance.
o   Manoreh
Teater tradisional ini terdapat di wilayah Ciamis Selatan. Teater ini semula merupakan media dakwah, tetapi sekarang lebih berfungsi sebagai tontonan untuk meramaikan hajtan keluarga dalam masyarakat. Meskipun demikian, masih terdapat sisa-sisa cirri tradisionalnya, yakni penyediaan sesajian sebelum pertunjukan. Cerita pokok teater ini adalah kisah Umar-Amir yang kemudian dikembangkan dalam cabang-cabang cerita menjadi Jayengrana, Kendit Brayung, Mandarpaes, Kadarwati, Jiweng jadi Raja, Gendrengmasan, dan Ayaban.
o   Ronggeng Gunung
Teater ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk tari pergaulan biasa, seperti tarian seorang ronggeng atau lebih dengan para penontonnya. Biasanya, pertunjukan ini diadakan pada malam hari mulai pukul 08.00 sampai menjelang pagi. Bentuk teaternya terletak pada lirik-lirik lagu yang dinyanyikan pesinden menjelang tarian. Keistimewaan bentuk teater ini ada pada lagu-lagu dan lirik berbau kuna (mirip musik Bali) yang sudah tidak dikenal lagi maknanya oleh masyarakat Jawa Barat. Di samping itu, para penonton yang ikut menari harus menyelimuti dirinya dengan sarung sehingga yang tampak hanya matanya saja ketika beraksi di pentas.
o   Topeng Blantik
Teater tradisional ini terdapat di wilayah Jawa Barat bagian selatan, seperti Bojonggedeh, Pondok Rajeg, Citayem, dan Ciseeng. Blantik berarti “campur aduk” atau “tidak karuan”. Disebut topeng karena dalam tariannya tersebut pemaian memakai topeng. Dulu jenis teater bertopeng ini ada tiga. Namun, kini hanya tinggal satu jenis teater topeng saja yang dimainkan, yakni Kembang Topeng atau Ronggeng Topeng. Lakon-lakon yang dimainkan kebanyakan cerita yang bernafaskan Islam.
o   Srandul
Pencipta pertunjukan ini adalah seorang bangsawan Yogyakarta yang kelak menjadi patih, yakni Yudanegara III. Ia dikenal sebagai pecinta kesenian rakyat pada paruh kedua abad ke-19. Srandul memainkan cerita-cerita Menak (Amir Hamzah) dengan iringan musik bende, terbang, kendang, dan angklung. Tontonan ini berfungsi murni hiburan, tetapi kemudian dibawa mengamen oleh rombongan-rombongan srandul. Tempat main biasanya di halaman terbuka (halaman rumah atau kebun kosong), pada malam hari, dengan penerangan obor. Beberapa lakon yang dikenal adalah Rebutan Pedang Kangkam, Ndulang Mas, dan Jatikerna.
  • o   Ande-Ande Lumut

Cerita yang dipentaskan para teater tradisional ini umumnya adalah cerita Panji. Pertunjukan biasanya dilakukan semalam suntuk dengan jumlah pemain (penari) antara 20-40 orang. Gaya tarian mirip dengan gaya tari wayang orang, baik dalam gaya Surakarta maupun Yogyakarta. Sebelum pertunjukan dimulai, pertunjukan ini didahului dengan lagu pembukaan (gending penembrana). Seluruh pertunjukan dibagi menjadi lima babak dengan beberapa adegan. Dialog dilakukan dengan bentuk prosa maupun puisi (tembang) dan diiringi oleh gamelan slendro atau pelog.
  • o   Dhadungawuk

Kesenian ini berasal dari daerah sekitar Prambanam. Lakon yang diangkat selalu berkisar pada cerita tentang tokoh Dhadungawuk. Ia dimitoskan masyarakat Prambanan sebagai simbol manusia yang suka membela kebenaran dan selalu membantu orang lain yang mengalami kesusahan (Sahid, 2006:6). Sumardjo (2004:57) menambahkan bahwa Dhadungawuk ini bersumber pada cerita zaman Demak, terutama kisah prajurit Dhadungawuk yang ingin menghamba ke kerajaan Demak. Semua pemain adalah laki-laki. Bermain di halaman rumah atau pendapa. Dialog dilakukan dengan prosa dan tembang. Dalam pertunjukan Dhadungawuk ini tidak terdapat dalang.
  • o   Topeng (Wayang Topeng)     

Memainkan cerita-cerita Panji. Gaya terinya mirip gaya tari wayang wong gaya Yogya. Semua penari, kecuali pelawak (Pentul, Tembem, Blancir, Sebul, Palet) ketika masuk dan keluar pentas menari dengan lumaksana miring, sehingga mirip wayang kulit. Semua penari menggunakan topeng, kecuali dalam adegan-adegan perang, topeng dibuka dan wajah dirias. Beberapa tokoh mengenakan kostum khusus miliknya sehingga mudah dikenal penonton. Pertunjukan topeng biasanya siang hari. Jumlah pemain sekitar 20 orang.
  • o   Kethek Ogleng

Alur cerita teater tradisional Kethek Ogleng pada umumnya berdasarkan cerita Panji. Cerita hanya memiliki satu cerita saja, yakni Kethek Ogleng yang kasmaran dengan tokoh Endang Lara Tompe. Tokoh Kethek Ogleng digambarkan sebagai monyet besar putih yang merindukan dan ingin menemui pijaannya di desa Dadaptulis. Setelah dialog berupa rayuan (kudangan) yang menjadi cirri khas teater ini, alur berikutnya biasanya dilanjutkan adegan perkelahian antara Kethek Ogleng dengan Panji Putro, kekasih Lara cerita ini memakai topeng congoran yaitu topeng pada bagian mulut saja. Adengan humor asmara biasanya muncul dalam adegan Kethek Ogleng ketika kasmaran dengan Lara Tompe. Biasanya sang tokoh digambarkan keliru merayu dan mengira cantriknya adalah Lara Tompe; atau adegan pertemuan Kethek Ogleng yang mengaku Panji Putro ketika bertemu Lara Tompe.
  • o   Jatilan

Janis teater tradisional ini diperkirakan muncul sejak prasejarah Indonesia. Jatilan kemungkinan merupakan kelanjutan upacara pemujaan terhadap totem kuda. Kesenian ini dahulu hanya dilakukan oleh dua orang dengan menunggang kuda dari anyaman bambu. Selanjutnya, teater ini menampilkan penunggang kuda yang kesurupan atau trance sehingga bisa bereaksi seperti kuda, seperti dicambuki, makan rumput, makan padi, daun, dan lain-lain sebagainya. Dengus si penari pun seperti digambarkan kuda. Para pertunjukan yang mutakhir, penunggang kuda (penari) dapat terdiri dari beberapa pasangan. Masih ditambah tokoh Pentul dan Beles. Kedua tokoh ini berdialog dalam prosa maupun puisi.
  • o   Ketoprak

Mula-lua teater tradisional ini dulu diiringi gamelan lesung dan alu. Lama-lama lesung dan alu itu diganti dengan iringan gamelan (Rendra, 1993:116). Teater tradisional ini amat populer di Jawa Tengah, khususnya di Yogyakarta ini. Embrio teater tradisional ini muncul sejak tahun1887. Akan tetapi, tahun 1909 teater tradisional ini baru mencapai bentuk awalnya, dan akhirnya, tahun 1920-an teater tradisional ini mencapai bentuk yang mapan. (Sumardjo, 2004:60).
Cerita yang ditampilkan oleh teater rakyat ini biasanya diambil dari cerita klasik, legenda, atau fiksi. Sebagai contoh, lakon Panji Sumirang, Joko Tarub, Piti Tumpo, hingga cerita-cerita Menak, Mesir, Kejawan, Cina (seperti Sam Pek Eng Tai, Ma Cun, dan sebagainya), cerita sejarah, kepahlawanan, dan sebagainya (bdk Harymawan, 1988:231). Teater tradisional ini menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya.
  • o   Ludruk

Kesenian dari Jawa Timur ditampilkan lebih bebas dari pada ketoprak, baik dalam hal gerak, pakem, atau pun humor. Cirri khas ludruk terdapat pada peran wanita yang dimainkan oleh pemain pria. Pertunjukan ludruk biasanya dibuka dengan tari pembukaan yang dilakukan sambil bernyanyi. Tarian semacam itu disebut ngremong (bdk Rendra, 1993:116).
  • o   Wayang Wong

Teater tradisional ini mula-mula muncul di istana Yogyakarta dan Mangkunegaran pada pertengahan abad ke-18 ini. Teater tradisional ini akhirnya keluar istana dan menjadi kegemaran rakyat. Pertunjukan diadakan di pasar-pasar malam, taman hiburan, di atas pentas, proscenium. Pementasan cerita biasanya diambil dari Mahabarata, Ramayana, dan cerita-cerita lainnya. 
  • o   Topeng Madang

Teater rakyat ini sering disebut sebagai wayang topeng. Kesenian ini hanya tinggal beberapa grup di sekitar Malang, Jawa Timur. Pertunjukan Topeng Madang biasanya hanya diselenggarakan untuk hajatan (khitan, perkawinan, nadir, ruwatan) baik siang hari maupun malam hari. Cerita yang dimainkan rata-rata berasal dari siklus Panji. Adakalanya teater ini memainkan pula lakon-lakon Ramayana, Mahabarata, dan lain-lain. Pertunjukan ini biasanya dipimpin oleh seorang dalang yang bertindak seperti dalang wayang purwa, dengan melakukan dialog antar pemain (ontowecono) dan menarasikannya. Adapun tokoh-tokoh pemain seperti Semar, Bagong, dan Potrojoyo boleh melakukan dialognya sendiri.
  • o   Teater Makyong Riau

Bentuk teater rakyat Melayu ini terdapat juga di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Di kerajaan-kerajaan Malaysia, sekitar empat abad yang lampau, makyong dipelihara dengan baik di istana. Seorang utusan Belanda, Peter Flores, pada tahun 1612 menyaksikan teater yang seluruhnya dimainkan oleh wanita di istana Patani. Dugaan keras yang dilihat adalah Makyong. Ada kemungkinan makyong berasal dari Malaysia karena dapat ditelusuri dari penggunaan bahasa dalam syair-syair makyong yang beberapa bagian menunjukkan berasal dari Patani.
            Lakon-lakon yang biasa dipentaskan antara lain; Megat Sakti, Cerita Rondang, Nenek dan Danu, Putra Lakon, Tuan Putri Rakne Mas, Wak Peran Hutan, Gunung Intan. Bentuk lakon teater ini lebih cenderung pada komedi atau melodrama. Lakon pantangan yang dipentaskan adalah cerita Nenek Gajah dan Danu. Lakon ini dipercayai jika dipentaskan harus disertai dengan upacara korban karena diyakini dapat mendatangkan badai.
            Menilik kebanyakan pemain adalah wanita, dapat diduga bahwa teater ini merupakan perkembangan dari tari upacara kesuburan yang dilakukan oleh ronggeng, baru kemudian ditambahkan cerita. Para pemain cerita tersebut digambarkan memakai canggai (kuku buatan yang panjang).
  • o   Dulmuluk

Teater tradisional ini berasal dari Sumatera Selatan. Salah satu versi menyebutkan bahwa teater ini berasal dari syair Raja Ali Haji, sastrawan yang pernah bermukim di Riau. Pertunjukan itu mulai dikenal sebagai dulmuluk pada awal abad ke-20. Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan di atas panggung. Saat itu dulmuluk merupakan sebuah grup teater yang kemudian bermunculan grup serupa dan digemari oleh masyarakat. Salah satu yang menarik dari pertunjukan dulmuluk adalah penampilannya yang lengkap, yakni adanya syair, lagu-lagu Melayu, dan lawakan. Lawakan yang biasa disebut khadam itu sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

  • o   Teater Randai

Sebagai sebuah bentuk kesenian tradisional, randai hidup bersama tradisi yang berlaku di dalam masyarakat Minangkabau (Esten, 1983:111). Menurut Darwis pada mulanya randai adalah suatu bentuk kesenian tari. Langkah dan gerakan seperti pencak, memainkannya berkeliling merupakan lingkaran, dan jumlah pesertanya tidak tertentu (Esten, 1983:112).
            Randai merupakan perkembangan dari teater tutur kaba. Ada empat unsur esensial dalam randai, yakni kaba yang dimainkan, gurindam yang berupa penceritaan dengan berbagai dendang dan iringan karawitan, gelombang, unsur bentuk tari dan unsur dialog serta sekaligus pemeranan para pemain. Iringan musik terdiri dari puput batang padi, talempong, gendang, dan rebana. Musik tampil pada pembukaan dan penutupan randai (Sumardjo, 2004:67).
  • o   Kecak

Sandiwara tradisional Bali ini menampilkan cerita epos Ramayana. Sifatnya penampilan pertunjukan ini unik karena penuh dengan tarian dan nyanyian tetapi tidak diiringi gamelan. Iringan gamelannya diganti dengan suara mulut dari paduan suara para pria yang berbunyi ‘cak-cak-cak’ (Rendra, 1993:119).

B. Perkembangan Drama Modern di Indonesia
            Para penulis referensi sebelumnya kebanyakan sepakat untuk menyebutkan bahwa naskah drama Bebasari yang diterbitkan pada tahun 1926 hasil karya Roestam Effendi sebagai naskah drama modern paling awal di Indonesia (Hasanuddin, 1996:37).

  • o   Mohamad Diponegoro dan Teater Muslim

            Mohammad Diponegoro dikenal sebagai penulis cerpen, drama, sajak, maupun esai. Sebagai penulis cerita, ia menghasilkan sebuah karya asli berjudul Iblis. Teater Muslim yang dipimpinnya tersebut berdasar azas ajaran Islam dengan keyakinan bahwa Islam adalah sumber dan pendorong kesenian yang sempurna. Teater Muslim ini bertujuan untuk mengadakan kegiatan seni teater, menumbuhkan kecintaan dan penghargaan pada seni teater, serta mendidik orang-orang muslim yang memiliki bakat dalam bermain teater. 
            Iblis, drama panjang yang ditulis Dipo bercerita tentang pengorbanan Ismail oleh ayahandanya, Ibrahim. Drama ini dipentaskan puluhan kali dan dibawa ke pesantren dan jantung-jantung kalangan Islam lain sebagai pengatrol apresiasi. Namun, usaha tersebut tak urung juga membangkitkan kontroversi pada bagian kalangan legalis fikih Islam. Untuk itu, dramawan ini dibantu oleh tokoh Perintis Kemerdekaan RI, A.R. Baswedan.

  • o   W.S Rendra dan Bengkel Teater

            Sebagai seorang penyair, penulis naskah, actor, dan sutradara Rendra memulai karirnya dalam tradisi realisme konvensional. Pada 1968 Rendra, Bakdi Soemanto, dan Azwar AN mendirikan Bengkel Teater dan segera mulai ber-workshop setiap malam. Nama Bengkel Teater menunjukkan bahwa kelompok ini bertujuan untuk membenahi pemain-pemain yang sudah bermain agar dapat bermain dengan lebih baik. Kelompok ini tidak dibentuk untuk melahirkan actor, tetapi pemain diarahkan untuk dapat bermain, setidaknya, sebaik Rendra.
            Bengkel Teater menggunakan metode improvisasi dalam latihannya. Metode yang demikian itu merupakan hal yang baru dan sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh grup-grup drama di Yogyakarta, bahkan di Indonesia pada waktu itu. Hal tersebut dipahami karena sebelum kedatangan Rendra, teater modern di Indonesia bergerak di sekitar para penulis naskah drama realis atau drama bersajak.

  • o   Arifin C. Noer

Arifin Chairin Noer yang lebih dikenal dengan nama singkatan Arifin C. Noer, adalah sutradara teater dan film Indonesia terkemuka dan termahal pada masanya. Pada tahun 1968 Arifin hijrah ke Jakarta dan mendirikan Teater Ketjil.

  • o   Teguh Karya

            Melalui Teater Populer Teguh Karya melahirkan banyak aktor dan aktris kenamaan. Teater Populer ini semula dimaksudkan untuk mengisi acara-acara di Hotel Indonesia.

  • o   Putu Wijaya dan Teater Mandiri

            Putu Wijaya yang lahir 1943 adalah seorang penulis naskah, aktor, sutradara panggung dan film, novelis, dan cerpenis. Adapun Teater Mandiri didirikan pada 1971 di Jakarta, oleh para pendukung produksi perdana di TVRI yang berjudul Orang-orang Mandiri (Putu Wijaya, Tizar Purbaya, Abdul Muthalib, Sugeng, Rajul Kahfi, Sutarno SK, Mustafa Alatas, Wage, Ali Said, Zubaedi, Ety Asa, Mini Asa, Dery).

  • o   Suyatna Amrun dan Studi Klub Teater Bandung

            Suyatna Amrun lahir di Bandung, 20 Juli 1936. Suyatna bergaul dengan dunia drama dan teater sejak masih menjadi pelajar di Sekolah Lanjutan Atas Tahun 1958n(30 Oktober), ketika kuliah di Seni Rupa ITB mendirikan Studiklub Teater Bandung. Studi-klub Teater Bandung (STB) yang didirakan oleh Suyatna dan Jim Lim pada tahun 1958 kegiatannya berada disekitar kampus Seni Rupa ITB. Setelah itu, kegiatan lebih meluas di kalangan mahasiswa umum, dan berpusat di rumah Jim Lim di Jl. Kartini 19, Bandung.
o   N. Riantiarno dan Teater Koma. Dramawan ini selanjutnya mendirikan Teater Koma pada tahun 1977.

  • o   Heru Kesawa Murti dan Teater Gandrik

            Selain menulis drama, Heru Kesawa Murti juga menulis naskah sinetron dan FTV. Pada tahun 1983, bersama Djaduk Ferianto, Butet Kertarejasa, Susilo Nugroho, Sepnu Heryanto dan Jujuk Prabowo, Heru mendirikan Teater Gandrik. Teater Gandrik mulai semakin diakui keberadaannya setelah memenangkan juara pertama dalam Festival Pertunjukan Rakyat tingkat daerah.
            Gandrik telah mempertegas dirinya sebagai salah satu teater papan atas yang patut diperhitungkan dalam dunia seni teater modern Indonesia. Gaya berteater mereka berangkat dari berbagai bentuk teater rakyat dan seni tradisi yang ada di daerah tempatnya dilahirkan dan dibesarkan.

  • o   Yudi Ahmad Tajudin


            Yudi Ahmad Tajudin lahir di Jakarta tahun 1972. Ia adalah dramawan yang tergolong generasi baru, saat dramanya mulai dikenal publik tahun 2000-an. Pada tahun1993 bersama Y Kusworo Bayu Aji dan Puthut Yulianto mendirikan Teater Garasi sebagai kelompok kegiatan mahasiswa Fisipol UGM. Nama Garasi diambil dari sebuah garasi di kampusnya yang saat itu sering dipakai sebagai tempat berkumpul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar